Awalnya gue nggak mau datang, tapi Hendra BBM gue berkali-kali untuk ingatkan bahwa acaranya tinggal beberapa hari lagi.
"Nggak mau, ah, nanti sedih, terus nangis," gue balas BBM Hendra.
"Nggak, nanti kan ditemenin. Ada aku, ada yang lain juga," begitu balasnya lagi.
Pokoknya gue janji nggak akan menangis.
Dan akhirnya hadirlah gue di sana, di Malam Renungan AIDS Nusantara 2015 yang diadakan di Taman Musik Centrum Bandung. Mata gue langsung mencari wajah-wajah yang dikenal. Baru beberapa langkah gue sudah disambut oleh Anies (atau kalau sedang manja gue panggil "Teteh Anies", hehehe) yang langsung memeluk gue akrab. Hendra rupanya belum datang, padahal dia yang sibuk membujuk gue. Tapi gue nggak kesepian, di sana juga sudah ada Ayu, teman sekaligus pengelola dari ODHA Berhak Sehat (lihat post gue tentang OBS di sini). Apalagi handphone gue langsung bergetar, rupanya ada mention dari Rumah Cemara yang mengucapkan selamat datang untuk gue. Psst, sampai sekarang gue belum tahu lho siapa admin twitter dan facebooknya RC, makanya gue langsung clingak-clinguk cari siapa yang sedang pegang HP, hihihi :)
Semakin jauh gue melangkah semakin banyak juga wajah yang gue kenal. Malah ada yang sudah sering mengobrol di dunia maya, tapi ini jadi pertemuan kali pertama! Seorang perempuan cantik 'histeris' ketika melihat gue dan langsung mencium pipi kiri dan kanan gue. Beberapa detik kemudian gue ikut histeris karena ia ternyata seorang teman yang sudah gue kenal selama 8 tahun di dunia maya (iya 8 tahun, gue nggak salah ketik). Gue memanggilnya "Kak Rose", yang ternyata dianggap "ajaib" oleh teman-temannya karena hanya gue yang memanggilnya begitu. Ia lalu memanggil suaminya yang juga berteman dengan gue di dunia maya bahkan sebelum gue mengenal Kak Rose. Dengan malu-malu gue menyalaminya karena ternyata ia masih muda padahal gue selalu memanggilnya "Om Riki", hihihi :p
Gue langsung merasa nyaman, suasananya akrab dan gembira sekali. Soal rasa takut gue, mungkin hanya parno saja, ---seperti biasanya.
Malam Renungan AIDS Nusantara diperingati di bulan Mei setiap tahun. Kegiatan ini menjadi kesempatan bagi komunitas ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), keluarga dan masyarakat untuk mengenang orang-orang yang telah dulu pulang karena AIDS. Bukan hanya untuk ODHA atau yang pernah ditinggalkan seperti gue, tapi MRAN ini juga boleh diikuti oleh umum. Menurut gue ini bagus karena bisa menjadi ajang silaturahmi sekligus sosialisasi tentang HIV/AIDS. Dan karena acaranya di tempat terbuka sepertinya banyak masyarakat sekitar yang ikut penasaran dan bahkan ikut bergabung, which is really nice :)
Nggak lama kemudian Hendra datang dengan sekantung perbekalannya (belanja dulu ternyata dia, hehehe) dan langsung bergabung dengan gue dan Anies. Lalu disusul oleh Nova yang sama seperti gue, baru memutuskan untuk pergi di menit-menit terakhir. Gue mengenal mereka bertiga dari piknik OBS, yang dilanjutkan dengan perkenalan lalu bergabung di grup mereka, D-100 (baca tentang nobar film MIKA bersama mereka di sini). Waktu kami sudah duduk paduan suara Maranatha sedang membawakan beberapa lagu. Perasaan merinding mulai datang, yang membuat gue melirik Hendra penuh arti, 'Awas ya kalau gue sampai nangis.' :p
Di MRAN ini ada quilt yang dibuat oleh keluarga dan sahabat dari mereka yang sudah dulu pulang (totalnya ada 86 quilt). Nova bertanya pada gue kenapa gue nggak membawa quilt untuk Mika. Well, sebenarnya alasannya agak cengeng sih... Melihat quilt dengan nama orang lain tertulis di atasnya saja sudah membuat gue berkaca-kaca, apalagi jika membaca nama Mika... Tapi gue tetap meletakkan setangkai bunga di atas quilt-quilt itu untuk mereka yang juga sama seperti Mika. Susah diungkapkan dengan kata-kata tentang perasaan gue yang seperti roller coaster. Melihat puluhan nama dengan keluarga dan sahabat yang hadir membuat gue sadar bahwa dunia ini bukan hanya mengenai gue dan Mika, bukan gue yang paling bersedih, ---dulu gue egois karena merasa nggak ada yang mengerti perasaan gue. Tapi ternyata banyak orang yang kehilangan yang mereka cintai karena AIDS. Gue jadi merasa bersalah... Tapi di sisi lain gue juga merasa hangat, karena beberapa dari orang yang hadir mengenal Mika, meskipun hanya lewat novel dan film. Setiap ada yang menghampiri dan memberi tahu perasaan mereka tentang Mika, mereka berempati pada gue, ---well saling, karena kami mempunyai pengalaman yang sama.
Setelah kata sambutan dari Atalia Kamil, istri dari Ridwan Kamil, walikota Bandung acara dilanjutkan dengan testimoni. Langsung saja gue berdiri dan mencari-cari alasan untuk meninggalkan tempat. Kalau dibilang cengeng, biarin... gue mungkin memang cengeng. Tapi gue benar-benar nggak siap untuk mendengarkan kisah-kisah kehilangan dari teman-teman baru gue ini. Untung saja Hendra mau menemani gue keluar area. Bilangnya sih gue mau beli minum, padahal dari kejauhan gue mendengarkan suara samar-samar dari speaker, ---memastikan sesi testimoninya sudah selesai waktu gue kembali.
Gue dan Hendra kembali tepat ketika testimoni terakhir selesai, tinggal acara penutupan. Kami diminta untuk menyalakan lilin dan berdiri mengelilingi quilt. Kami lalu berdoa untuk keluarga dan sahabat yang telah dulu pulang. Gue teringat Mika dan mulai menahan air mata yang rasanya sebentar lagi jatuh sambil memeluk diri sendiri. Gue nggak ikut menyalakan lilin, alih-alih berdiri di paling pojok dikelilingi oleh Hendra, Anies dan Nova. Dari speaker terdengar lagu "Lilin-Lilin Kecil", semua ikut bernyanyi, termasuk gue. Lalu dilanjutkan dengan lagu "Usah Kau Lara Sendiri". Di bagian refrain, kertas lirik yang gue baca tiba-tiba menjadi buram. Air mata gue ternyata sudah nggak bisa ditahan, gue menangis. Gue berusaha menghapusnya dengan punggung tangan, tapi air mata gue terus keluar. Gue ingat Mika, gue ingat teman-temannya yang juga sudah pulang. Gue juga teringat dengan nama-nama yang gue baca di quilt, dengan orang-orang yang ditinggalkan, ---yang jumlahnya ada banyak sekali di seluruh dunia. Gue melanggar janji, I let my self cry. Gue pikir dengan menahan perasaan akan membuat gue kuat. Tapi gue salah, menangis bukan berarti lemah. Nggak ada yang salah dari mengeluarkan perasaan, dengan menghindarinya jutsru gue malah pura-pura atau menutup mata, ---menjadi pengecut. Mungkin gue nggak akan menemukan obatnya, tapi akan berusaha menghilangkan stigma dan segala cap-cap konyol lainnya terhadap ODHA. Gue akan terus berjuang untuk Mika dan Mika-Mika yang lain. Janji.
Ada yang mau ikut?
Ada yang mau ikut?
![]() |
Tulisan ini nggak diikutkan ke kontes, gue hanya berbagi pengalaman :) |
a fighter,
Indi
_______________________________________________________