Quantcast
Channel: Dunia Kecil Indi
Viewing all articles
Browse latest Browse all 312

Bercerita Tentang Mika di Malang :)

$
0
0
Howdy-do, peeps! Ah, selalu senang kalau bisa kembali ke sini. Rasanya seperti pulang ke rumah, ---rumah di dunia maya maksudnya, hihihi. Kalau ada diantara kalian yang membaca post-post gue sebelumnya (atau mengikuti gue di Facebook dan Instagram) pasti tahu kalau tanggal 2 Desember lalu gue mengisi sebuah acara Hari AIDS Sedunia di kota Malang. Nah, sekarang gue mau cerita soal pengalaman selama di sana. Dan apa kabar cerita Halloween gue yang ditunda-tunda terus untuk di post? Hehehe, untuk sekarang nonton dulu vlog nya di sini saja, ya. Soalnya karena sebuah alasan (---yang cheessy dan konyol) gue belum bisa menulis ceritanya :p

Di bulan November lalu gue dihubungi oleh Dina, salah satu anggota tim dari Indonesian Future Leaders chapter Malang untuk menjadi pembicara di event peringatan Hari AIDS Sedunia. Gue belum pernah mendengar apa itu IFL, tapi dengan quick search di internet gue jadi tahu kalau itu adalah organisasi non profit yang berfokus pada kegiatan youth empowerment dan social voluntarism. Gue langsung tertarik, ---tapi nggak langsung memutuskan untuk mengiyakan. Alasannya selain tempatnya jauh (tahun lalu gue jadi pembicara di Surabaya dalam keadaan sakit, uhuhu), juga karena sudah jauh-jauh hari ada kelompok dukungan sebaya (group support ODHA dan OHIDA) yang meminta gue membantu acaranya di Bandung. Gue meminta waktu untuk berunding dulu dengan Bapak, tapi sebelum kami membuat keputusan dapat kabar kalau acara yang di Bandung batal. Hehehe, tahun ini rupanya gue ditakdirkan untuk memperingati Hari AIDS Sedunia jauh dari rumah :) 

Setiap kali melihat ke belakang gue selalu takjub dan nggak menyangka dengan apa saja yang sudah dilalui... Masih jelas rasanya hari dimana Mika, my forgetful angel, meninggalkan gue untuk mengambil sayapnya di surga. Waktu itu rasanya gue sangat terpuruk dan nggak berdaya. Mungkin kesannya berlebihan, tapi memang itulah yang gue rasakan. Gue terlalu terbiasa ada Mika. Selama 3 tahun dengannya gue berubah dari Indi yang pemalu dan nggak nyaman dengan kondisi fisik menjadi Indi yang dengan bangga memakai brace scoliosisnya di luar baju dan merasa 'nggak kurang' dibandingkan remaja-remaja lain. Dengannya gue merasa aman dan percaya kalau gue bisa melakukan 'apapun'. Tapi Mika juga lah yang membangkitkan keterpurukan gue setelah ia meninggal. Semangatnya membuat gue sadar kalau ia nggak akan suka gue terus-terusan murung. Dan berhenti 'membicarakannya' justru membuat gue menjadi denial, ---sulit mengiklaskan. Keberanian untuk menghadapi kepergiannya justru malah membuat Mika seolah selalu ada. I face my fears, ---gue berbagi kisah tentang Mika. Dan gue lakukan ini bukan hanya untuknya, tapi juga untuk gue. 

Jadi pada tanggal 2 Desember lalu, pagi-pagi sekali gue dan Bapak sudah berada di Bandara untuk menuju Surabaya. Penerbangan dari Bandung belum ada yang langsung tiba di Malang, jadi kami harus berangkat sedini mungkin untuk mengejar sesi gue yang akan berlangsung pada pukul 14.00 WIB. Gue sebenarnya ditawari untuk berangkat 1 hari sebelumnya, tapi karena gue sedang sedikit demam jadi gue pikir lebih baik sedekat mungkin dengan waktu acara. Gue baru tidur 2 jam karena sebelumnya sedang menyelesaikan interview dengan Hunter Kelch (perbedaan waktu 2 negara membuat gue harus begadang, hehehe). Gue pikir akan bisa tidur di pesawat, tapi ternyata gue tetap terjaga sampai tiba di Surabaya. Penerbangannya super lancar, dan kami mendapatkan pesawat yang nyaman dan lega. Tapi di samping gue ada perempuan yang "mengkahwatirkan". Ia terus-terusan facetime dengan pacarnya (---atau siapapun itu) sampai ditegur 3 kali oleh pramugari dan sepanjang perjalanan terus-terusan mengecek makeup nya. Ugh, why oh why?!! :p


Meski begitu mood gue dan Bapak tetap super bagus. Kami hanya menunggu sebentar ketika tiba di Bandara Juanda karena Eko dan Rizki dari IFL sudah menjemput dan siap untuk mengantarkan ke Malang. Rasanya seperti de javu, begitu menginjakkan kaki di Surabaya udara langsung terasa hangat (---panas, hehe). Biasanya gue lebih prefer cuaca dingin, tapi rasanya gue rindu Surabaya, teringat keramahan teman-teman di sana, huhuhu, ---jadi mellow :p Tapi 2 teman baru dari Malang ini pun nggak kalah ramah. Sepanjang perjalanan mereka terus bercerita tentang tempat-tempat yang kami lewati. Seperti tour guide, hehe. Dan itu membantu gue dan Bapak untuk tetap terhibur di perjalanan yang super macet dan didera hujan deras karena kami banyak tertawa. Sebagai penutup perjalanan sebelum tiba di guesthouse kami juga diajak mampir ke restoran pecel "Kawi". Di sana rasa pecelnya super nikmat! Sayang untuk lidah gue terlalu pedas jadi nggak sanggup untuk menghabiskan 1 porsi :p


Seperti kata Mika, selalu ada yang pertama kali untuk segalanya. Begitu juga dengan pengalaman sebagai speaker kali ini. Kalau biasanya disediakan hotel, kali ini panitia menyediakan sebuah kamar di guesthouse. Ternyata tempatnya nyaman sekali dan homie, ---ada teras untuk bersantai dan kolam ikannya. Lucunya, nama guesthouse nya Bandoeng, cocok sekali dengan kota asal gue, hahaha. Yang pertama terpikir oleh gue ketika tiba adalah tidur, tapi lagi-lagi gue betah terjaga. Mungkin saking lelahnya, plus harus menyiapkan speech gue nanti. Kalau Bapak sih, 5 menit nempel di bantal suara ngoroknya langsung terdengar :p Ya, sudah gue hanya sekedar rebahan sambil memeluk Onci, boneka kelinci gue. Sekitar pukul setengah 2 siang handphone gue berdering, rupanya Salsa dan Ferdy dari IFL sudah menunggu di lobby untuk menjemput kami. So excited! Rasanya lelah gue langsung hilang seketika :)


Malang masih diguyur hujan, dan ini membuat perjalanan (lagi-lagi) sedikit terhambat. Butuh waktu lumayan lama untuk tiba di lokasi, padahal jaraknya dekat, lho. Tapi asyiknya gue jadi bisa lihat kiri-kanan dan melihat-lihat taman di kota Malang. By the way, dari sekian banyak tempat yang gue kunjungi rasanya di sinilah yang suasana dan udaranya mirip di Bandung. Sejuk dan banyak taman kotanya. Sampai-sampai Bapak bilang kalau difoto dan nggak bilang dimana lokasinya, orang Bandung pasti mengira kami sedang di alun-alun, hihihi. Akhirnya kami tiba juga di Cafe Gembira, lokasi dari event Close the Gap. Sebelum dimulai gue sempat mengobrol dengan Dina dan briefing secara singkat. Berhubung segmen gue kebagian sore, jadi gue nggak sempat melihat pengisi acara sebelumnya. Katanya sih ada pameran karya teman-teman ODHA, dan sebagian masih ada di display. Sayang karena lumayan sibuk hanya Bapak yang sempat melihat-lihat.


Nggak menunggu lama, sebelum teh manis hangat yang disediakan habis gue sudah naik ke lantai 2 untuk nonton bareng film Mika. Secara singkat gue mengenalkan diri kepada audiences yang sudah hadir. Kursi-kursi yang disediakan nggak semuanya terisi, tapi menurut gue jumlah audiences bukan yang utama tapi antusiasme mereka lah yang gue harapkan :) Gue nggak bisa cerita tentang detailnya, ya. Yang pasti menonton kembali "diary" gue bersama Mika selalu membuat perasaan campur aduk. Ada yang bikin tertawa, tapi ada juga yang membuat air mata gue jatuh. Ada saat-saat dimana gue merasa nggak sanggup untuk menontonnya kembali, tapi ada juga saat dimana gue merasa "okay". Dan kali ini perasaan gue adalah yang kedua, ---meskipun malam sebelumnya gue baru saja menonton film "Mika" di TV. Ya, air mata gue memang sedikit keluar, tapi lebih banyak tersenyumnya. Thank God :)


Sepanjang pengalaman gue nonton bareng film "Mika", baru kali ini dapat audiences yang 'adem'(baca: sepi). Biasanya, saat adegan lucu mereka tertawa, dan saat adegan sedih ada isak tangis. Minimal ada celetukan-celetukan komentar. Sempat bertanya-tanya juga dalam hati, apakah filmnya kurang seru bagi mereka? Atau apakah mereka bosan? ---padahal kabarnya banyak diantara mereka yang belum pernah menontonnya, lho. Makanya waktu film berakhir dan terdengar tepuk tangan yang riuh gue lega sekali. Rupanya mereka hanya pemalu. Terbukti saat sesi tanya-jawab mereka hapal dan paham betul dengan ceritanya, ---bahkan mendetail! Ternyata diam-diam mereka memperhatikan, ya, hehehe. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan pun cukup smart. Dengan senang hati gue menjawabnya karena nggak ada satupun yang menyinggu privacy gue dan jauh dari kesan kepo. Yay, good job Malang :))


Setelah nggak ada lagi pertanyaan yang ingin mereka ajukan, gue sharing tentang isu kesenjangan yang (sayangnya) masih terjadi di keseharian kita. Meski event ini dalam rangka Hari AIDS Sedunia, tapi apa yang terjadi pada ODHA sebenarnya bisa terjadi juga pada kita. Bayangkan bagaimana rasanya dibedakan hanya karena kondisi kita, padahal di balik itu kita adalah manusia yang "sama". I mean, ---well, iya manusia memang berbeda-beda tapi bukan berarti harus dibeda-bedakan, kan? Dengan memahami dulu kondisi yang terjadi gue yakin akan menumbuhkan empati dan menghilangkan 'kebiasaaan' untuk judging. Lagipula, apa gunanya menghakimi? Kita bisa membenci seseorang mati-matian dan itu cuma membuat semuanya lebih buruk. Lebih baik perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, be nice. Kita nggak pernah tahu apa yang seseorang bisa lakukan atau apa pengaruh mereka di masa depan. Dulu banyak orang yang berkata buruk tentang Mika. But look at him now...


Gue pernah membaca komentar di blog ini (atau di media sosial gue yang lain? Maaf lupa, hehe) yang isinya kurang lebih bahwa yang terpenting justru edukasi soal pencegahan penularan virus HIV, bukan soal masalah kesenjangannya. Tapi menurut gue keduanya sama pentingnya. Bahkan edukasi mengenai kesetaraan bisa jadi lebih mudah diterima karena bisa dimengerti oleh anak-anak sekalipun. Contohnya saja sepupu gue yang berusia 10 tahun bertanya tentang alasan mengapa Mika dikucilkan, bukan bertanya tentang asal usul virusnya ketika menonton "Mika". Ini sih mengenai perspektif, ---mana yang efektif mana yang nggak tergantung kepada siapa kita 'berbicara'. Gue percaya nggak ada cara 'kampanye' yang salah atau buruk. Kapan-kapan gue akan bahas lebih jauh lagi, tapi sekarang balik lagi ke event Close the Gap yang keren dulu, ya :)

Setelah sharing, sesi gue ditutup dengan foto bersama dan interview. --Well, nggak benar-benar selesai, sih, hehehe. Setelah 'turun panggung' justru audiences lebih akrab untuk bertanya dan mengajak selfie. Meski agak crowded tapi gue happy sekali dengan reaksi mereka. Gue selalu terbuka untuk menjawab pertanyaan asalkan itu bukan hal-hal yang terlalu pribadi (---gue rasa gue sudah cukup banyak berbagi kisah tentang Mika, kan). Satu pertanyaan yang banyak ditanyakan adalah soal pendapat gue mengenai sukses atau nggak nya acara ini. Dan, ya menurut gue acara ini sukses! Nggak ada acara yang sempurna, tapi menurut gue "Close the Gap" ini berhasil mengcaptured apa pesan yang ingin disampaikan. Gue suka dengan konsep semua orang duduk bersama untuk menonton film dan berbincang, ---tanpa harus disebut 'kamu ODHA dan aku bukan'. Karena honestly acara yang dibuat seperti itu malah berkesan seperti freak show. Itu lho show yang isinya orang-orang diberi label "si A", si B" atau "si C". Barbar sekali (---meminjam istilah Robin Williams), dan justru malah membuat kesenjangan semakin terasa.


Gue dan Bapak nggak langsung diantarkan kembali ke guesthouse. Tapi kami makan siang (super late, hehe) dulu sambil masih berbincang dengan beberapa kru IFL. Thumbs up lho buat chef dari Cafe Gembira yang secara khusus membuatkan gue masakan vegan meskipun itu nggak ada di menu. Meski kesannya 'biasa' tapi saat penyelenggara acara memperhatikan hal-hal kecil yang sifatnya personal, bisa membuat gue lebih nyaman, lho! :) Gue dan Bapak lalu diantar oleh Salsa dan Ferdy untuk melihat-lihat kota Malang setelah kami sedikit rapi-rapi (hehe) di guesthouse. Meski waktunya singkat karena sudah malam tapi kesampaian juga untuk melihat Tugu Malang dan mobil odong-odong yang super ramai, hehehe. Gue juga membeli sedikit oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Ada dompet batik berwarna pink yang cuteee sekali. Sayangnya cuma 1, jadi gue berikan sama ipar gue deh (---karena gue baik, lol).


Keesokan paginya setelah tidur beberapa jam (---tradisi gue dan Bapak kalau nggak ada Ibu pasti ngobrol sampai pagi), kami diantarkan ke Bandara Juanda untuk pulang menuju Bandung. Gue kembali bertemu dengan Dina dan ia mengantarkan kami sampai gate untuk mengucapkan sampai jumpa. Pertemuan gue dengan teman-teman baru di Malang memang singkat tapi begitu berkesan. Gue harap bisa kembali lagi suatu hari, ---dan tentu gue juga berharap telah meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Apa yang gue lakukan memang nggak banyak, tapi gue berusaha berbagi apa yang gue miliki. Gue berbicara, agar Mika selalu ada, ---agar semangat Mika selalu ada di hati orang-orang yang mendengarkan kisahnya :)

vlog perjalanan, sesi sharing dan jalan-jalan

smile,

Indi

______________________________________________________


Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact person: namaku_indikecil@yahoo.com


Viewing all articles
Browse latest Browse all 312

Trending Articles