Quantcast
Channel: Dunia Kecil Indi
Viewing all articles
Browse latest Browse all 312

Scoliosis, HIV/AIDS dan Skripsi

$
0
0
Sore itu gue menunggu Bapak pulang dengan nggak sabar. Gue ada janji dengan seseorang pukul 4 sore sementara waktu sudah menunjukan pukul setengah 4 sore, ---lebih sedikit. Desember selalu menjadi bulan yang sibuk untuk keluarga gue. Ibu dan Bapak sibuk dengan pekerjaannya di bidang fashion, sementara gue sibuk dengan kegiatan yang berhubungan dengan hari AIDS sedunia. Tapi hari itu gue berusaha menyempatkan diri untuk bertemu dengan seorang mahasiswi dari salah satu universitas di Bandung. Gue sudah berjanji jauh-jauh hari, jadi meskipun sebentar gue harus bisa.

Menunggu Bapak untuk mengantarkan gue wawancara.

Waktu akhirnya Bapak datang gue masih belum bisa lega. Sepanjang jalan sangat macet. Mungkin karena tempat kami janjian berada di pusat kota, mungkin karena banyak yang sedang menghabiskan libur akhir tahun, ---atau mungkin juga karena keduanya. Setelah masuk area parkir gue jadi agak menyesal karena memilih mall sebagai tempat pertemuan. Gue dan Bapak harus memutar beberapa kali sebelum menemukan tempat yang kosong. Uh, 15 minutes worth, lho... Padahal maksud gue memilih mall agar tempatnya mudah dijangkau dan jaraknya fair bagi kedua belah pihak, tapi malah begini :'D Kalau dipikir lucu juga ya, seharusnya sebagai warga Bandung gue sadar kalau musim liburan Bandung pasti jadi milik bersama :p

Seperti yang gue duga, Dyah, ---nama mahasiswi itu, sudah menunggu gue di area food court. Ah, rasanya nggak enak sekali karena sudah membuatnya menunggu selama 15 menit:( Dyah ingin mewawancarai gue sebagai narasumber untuk skripsinya yang bertema scoliosis. Rupanya ia juga seorang scolioser, ---yang kurvanya lebih kecil dari gue, dan dulu sempat terapi di tempat yang sama dengan gue. Tanpa berlama-lama ia langsung mengeluarkan handphonenya untuk merekam dan mengajukan beberapa pertanyaan. Gue sudah sering menjadi narasumber, ---bahkan sebelum skripsi gue sendiri selesai, hehehe, ---tapi kali ini agak berbeda karena pertanyaan-pertanyaan Dyah yang unik.

Sama seperti yang sudah-sudah, selalu ada pertanyaan 'standar' seperti, kapan gue tahu mengidap scoliosis dan tentang terapi-terapi apa saja yang sudah pernah gue lakukan. Tapi lalu Dyah bertanya tentang terapi favorite dan least favorite gue. Hahaha, biasanya pertanyaan seperti itu diajukan kalau bicara soal film, musik atau bahkan makanan kan :D Dyah juga bertanya tentang apa yang gue pikirkan jika ada game dengan tema scoliosis. Well, honestly meski gue berusaha 'memasyarakatkan' scoliosis dengan cara menyematkannya di daily basis, tapi soal game sama sekali belum pernah terpikir :O Genius! Rupanya Dyah memang ada rencana untuk membuat game scoliosis. Gue belum tahu seperti apa detailnya, tapi mendengarnya saja sudah membuat gue super happy :D

Setelah wawancara selesai gue langsung pamit untuk pulang. Agak terburu-buru, tapi gue pastikan Dyah mendapatkan semua jawaban yang ia butuhkan. Gue berpesan padanya jika masih ada yang kurang bisa mengirimi gue email dan akan gue jawab kemudian. Fiuh, lega rasanya karena akhirnya ada janji wawancara skripsi di Bulan Desember yang terpenuhi. Sebenarnya di bulan yang sama cukup banyak yang meminta gue menjadi narasumber, tapi sayangnya terpaksa harus gue tolak karena waktunya kurang pas. Gue selalu berusaha untuk menyempatkan memenuhi meskipun sebatas via email atau telepon. Kalau ada yang terlewat rasanya 'ganjel' sekali. Mungkin teman-teman heran kenapa gue segitu ngototnya soal skripsi ini. Memang apa untungnya untuk gue?

Bersama Dyah. Meski sedikit terburu-buru tapi semua pertanyaan sudah terjawab :)

Scoliosis, HIV/AIDS; Dua Hal Berbeda tapi Sama yang Jarang Dibicarakan

Gue didiagnosis mengidap scoliosis ketika berusia 13 tahun dan 2 tahun kemudian mengenal Mika yang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Selain saling mencintai, kami juga punya persamaan lain yaitu memiliki 'sesuatu' di tubuh kami yang somehow orang jarang sekali mau membicarakannya. Gue masih ingat dulu ketika awal menggunakan brace (penyangga tulang belakang untuk scoliosis), keluarga besar gue enggan sekali membicarakannya. Gue nggak yakin dengan alasan tepatnya. Entah karena denial, berpura-pura brace gue invicible atau malah karena menganggap scoliosis bukan sesuatu hal yang penting. Ibu dan Bapak pun awalnya begitu, mereka hampir nggak pernah membicarakannya kecuali jika memang harus sekali, ---seperti misalnya saat mendaftar ke sekolah baru. 

Karena sudah terbiasa gue pun jadi sempat menganggap apa yang mereka lakukan adalah benar. Gue jadi ikut enggan membicarakannya, bahkan saat ada teman satu kelas yang bertanya tentang kondisi gue. Tapi pelan-pelan gue dan orangtua mulai sering membicarakan tentang scoliosis, terutama karena mereka akhirnya sadar bahwa apa yang gue alami bukan sekedar masalah 'kosmetik'. Ini mempengaruhi gue 24 jam sehari dan sepanjang hidup gue. Kami mulai berinisiatif untuk 'memasyarakatkan' scoliosis pada lingkungan sekitar. Gue di encourage untuk memakai brace di luar baju dan bahkan menjadi narasumber untuk beberapa acara TV dengan didampingi Ibu dan Bapak.

Tapi jika bicara soal keluarga besar lain lagi ceritanya. Ada salah satu om gue yang nggak setuju jika gue bercerita tentang scoliosis di media, terutama TV. Beliau bahkan sampai mengutarakan keberatannya kepada Bapak. Alasannya sungguh membuat gue tersinggung. Beliau berkata bahwa gue nggak perlu melakukan itu, dan dengan jujur soal kondisi gue bisa membuat laki-laki 'berpikir dua kali' untuk dekat dengan gue. Gue nggak akan cerita tentang detailnya, yang pasti ini sempat membuat orangtua gue meradang. Apalagi pernyataan om gue itu nggak mendasar; beliau hanya tahu scoliosis sebagai 'masalah' fisik. Syukurlah pada akhirnya om gue meminta maaf. Goal gue adalah agar suatu hari nggak ada lagi yang berpikir seperti beliau. Karena saat gue berbicara tentang scoliosis sebenarnya ada misi penting di dalamnya (---akan gue jelaskan di bawah).

HIV/AIDS mungkin sekilas terkesan jauh berbeda dengan scoliosis. Tapi semenjak mengenal Mika gue jadi sadar bahwa 'kondisi' kami nggak jauh berbeda. Sama seperti scoliosis, orang juga enggan membicarakan tentang HIV/AIDS. ---Bahkan lebih buruk lagi, pengidapnya mendapatkan stigma dan diskriminasi. Gue masih ingat ketika SMA teman-teman dan guru nggak begitu mengganggap Mika. Jika pun ia dibicarakan pasti hanya dari sisi negatifnya saja. Mika bisa melakukan seribu kebaikan dan orang masih juga nggak bisa melihatnya. Orang nggak akan peduli betapa Mika membuat gue happy, membuat gue lebih percaya diri dan hal-hal baik lainnya. Yang mereka lihat hanya satu: virus yang ia idap. Padahal Mika lebih dari itu. Mika adalah laki-laki tercerdas dengan sense of humor terbaik yang pernah gue kenal!

Speak UP! Raise the awareness!

Semakin dewasa gue semakin sadar bahwa berpura-pura dan menolak membicarakan scoliosis dan HIV/AIDS hanya membuat keadaan semakin buruk. Let's talk about scoliosis first. Berapa banyak orang yang tahu apa itu scoliosis? Berapa banyak orang yang tahu bahwa scoliosis bisa jadi sesuatu yang serius terutama jika kurva pengidapnya sudah besar? Sayangnya masih sedikit. Bahkan memiliki anggota keluarga yang mengidap scoliosis pun bukan jaminan memiliki pengetahuan yang cukup. Gue mengerti bahwa sebagian orang enggan membicarakannya karena dari luar scoliosis hanya terlihat seperti tulang yang bengkok. Padahal scoliosis bisa mempengaruhi kualitas hidup pengidapnya karena, ---of course organ tubuh lainnya pun ikut terpengaruh.

Gue bersyukur karena sekarang semakin banyak media yang bisa digunakan untuk 'bicara'. Dari berbagai macam sosial media, blog sampai situs-situs unggah video gratis. Gue bisa memberikan informasi yang benar (---well, gue berusaha) tentang scoliosis dan berbagi tentang kehidupan gue sebagai seorang scolioser. Semakin banyak orang yang tahu tentang scoliosis maka semakin berkurang pula ke ignorant-an orang tentang isu ini. Scoliosis memang bukan hal yang menyenangkan, tapi deteksi dini bisa mempermudah koreksi dan penanganan pengidapnya. Sering kali gue menerima email dari para orangtua yang baru sadar anaknya mengidap scoliosis setelah menonton film Mika! Siapa sangka, hal sesederhana melihat cara gue berjalan dan melihat lengkung punggung gue di film bisa 'menyelamatkan' anak-anak remaja mereka. Banyak diantara mereka yang ketahuan saat kurvanya masih kecil sehingga belum membutuhkan operasi :)

Dengan berani berbicara juga membuat scolioser lain yang tadinya bersembunyi mulai bermunculan. Banyak diantara mereka yang ragu untuk bicara karena takut dibilang manja atau dikira ingin diistimewakan. Dan itu juga yang terjadi pada gue dulu. Betapa takutnya untuk berbicara tentang kondisi gue pada guru olahraga karena khawatir dinilai lemah dan menjadi bahan ejekan teman-teman. Dan hal terpenting yang "didapat" dari speak up adalah bisa membuat scolioser sadar bahwa mereka nggak sendirian. Saat sedang berjuang di ruang fisioterapi, saat sedang memakai brace 23 jam setiap hari, saat sedang menunggu di pinggir lapangan sementara teman-teman sekalas mengikuti pelajaran olahraga, ---mereka, kita akan ingat bahwa di suatu tempat ada scolioser lain yang juga sedang merasakan hal yang sama :)

Dan tentang Mika, gue merasa ia bisa mendapatkan lebih banyak kesempatan dalam berbagai hal jika saja orang melihat ia di luar status ODHA nya. Menolak untuk membicarakan, berpura-pura nggak ada yang terjadi dan meng-ignore keberadaannya hanya membuat keadaan semakin buruk. Dan yang gue maksud sebagai 'semakin buruk' bukan hanya tentang Mika, tapi juga tentang mereka. Gue berani bilang dengan menolak Mika mereka miss out banyak hal seru dan menarik tentang Mika. Mereka nggak akan pernah tahu betapa cerdas dan betapa hangatnya kepribadian Mika hanya karena mereka 'takut' dengan HIV/AIDS. Gue nggak menyalahkan mereka, karena apa yang sudah melekat selama berpuluh-puluh tahun pasti susah sekali dihilangkan. Saat mendengar HIV/AIDS yang melintas di benak kebanyakan orang pasti kesan seram. Padahal benarkah demikian?

Karena menolak membicarakannya orang terkadang lupa bahwa HIV/AIDS 'sama saja' seperti flu dan virus lainnya. Siapa saja bisa terjangkit dan belum tentu karena apa yang dilakukannya. Tahukah kalian bahwa banyak ibu rumah tangga dan anak-anak yang juga berstatus sebagai ODHA? Dan jika pun ada orang yang terjangkit virus HIV karena lifestyle atau sesuatu yang mereka lakukan... we are human after all. Kita nggak punya hak untuk men-judge atau berkata hal buruk tentang mereka. Mari kita mencoba menilai seseorang 'melewati' apa yang ia idap. Perlakukan setiap orang sebagaimana kita ingin diperlakukan. Terdengar klise dan sangat PPKN, ---but it works, haha, trust me. Kenapa kita mengucilkan seseorang sebelum mengenalnya lebih jauh? Padahal kita nggak tahu apa pengaruhnya orang itu terhadap diri kita, ---bahkan orang banyak jika saja diberikan kesempatan.

Gue pakai Mika sebagai contoh kecilnya saja, bahwa banyak orang di sekitarnya yang miss out dengan kepribadian luar biasa Mika (---saat mengetik ini pun gue tiba-tiba teringat dengan aksi ala 'rockstar' nya yang membanting gitar tak terlihat, hahaha). Kita mungkin pernah membaca berita tentang seorang anak yang dikucilkan atau diusir dari desanya karena ia mengidap HIV. Atau malah pernah menonton video tentang anak yatim piatu yang sulit diadopsi karena ia mengidap HIV. Coba bicarakan tentang HIV/AIDS, speak up, ---edukasi diri sendiri dengan fakta-faktanya maka 2 headline tersebut akan terasa janggal karena tiba-tiba kita nggak lagi melihat ada kata "HIV" di judulnya. Siapa yang tahu di masa depan apa yang terjadi dengan anak-anak itu? Mereka bisa saja calon penemu hebat, calon pemimpin hebat, ---siapa tahu. Dan kita missing out hanya karena menolak kehadiran mereka.

Scoliosis dan HIV/AIDS Sekarang

Things get better, gue percaya itu. Perjalanan memang masing panjang. Bahkan keluarga besar gue belum 100% menerima baik tentang scoliosis juga tentang HIV/AIDS. Tapi gue percaya nggak ada hal yang sia-sia, dan yang instan pun belum tentu baik. Gue menikmati perjalanan gue dalam memasyarakatkan scoliosis dan menghapuskan stigma pada ODHA. Gue nggak akan pernah berhenti speak up dengan cara memanfaatkan setiap kesempatan sekecil apapun itu. Kalau ini film Toy Story, situasi sekarang mirip seperti saat Woody dan teman-teman melihat claws saat hampir dibakar di pembuangan sampah. "I see the light", hehehe (---eh, kok malah film Tangled, lol). Sepupu gue yang berusia 10 tahun bisa secara santai berbicara tentang bagaimana HIV bisa menjangkiti tubuh seseorang tanpa di "sssh" oleh orangtuanya karena dianggap tabu. Dan gue pun bisa tersenyum lebar ketika ipar gue bercerita bertemu dengan seseorang yang menggunakan brace di luar baju dengan penuh percaya diri. 

Sekali lagi, I believe things (will) get better. Berpura-pura nggak melihat apa yang terjadi di sekitar kita nggak membuat situasi menjadi lebih baik. Speak up, ---beritahu dunia bahwa kita ada. Bukan karena ingin diistimewakan tapi karena semua orang punya hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan :)

the girl with cheeky spine,

Indi

_____________________________________________________
*Ingin mensupport gue dengan memiliki karya-karya gue? Klik www.homerianshop.com dan ketik judul novel gue (Waktu Aku sama Mika/Karena Cinta Itu Sempurna/Guruku Berbulu dan Berekor) di kolom "cari".
*Ingin berkontribusi untuk novel Guruku Berbulu dan Berekor Part 2? Kirim cerita menarik dan menginspirasi kalian dengan hewan peliharaan ke namaku_indikecil@yahoo.com. Royalti untuk didonasikan ke penampungan hewan.



______________________________________________________


Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact person: namaku_indikecil@yahoo.com

Viewing all articles
Browse latest Browse all 312

Trending Articles