Tebak gue dimana sekarang?
Gue lagi ngetik di McD, pakai Wifi gratisan bawa laptop dari rumah dalam rangka nemenin suami kerja, hahaha. Sekarang hampir tengah malam dan kami keluar rumah karena nggak mau mengganggu jam tidur orangtua gue. ---Iya, lima bulan sudah usia pernikahan gue dan Shane, dan kami masih tinggal bersama mereka. Rencana kami memang pindah secepat mungkin tapi karena satu dan lain hal harus ditunda. "Rumah kami" sih sudah dalam proses, tapi masih menyicil sedikit-sedikit. Jadi ya... sampai kami bisa pindah, gue dan Shane menikmati waktu dulu sebagai anak mami :p Syukurlah pekerjaan kami fleksibel, bisa dilakukan dimana saja in case suasana rumah nggak memadai.
Ngomong-ngomong soal suami, apa yang mau gue share sekarang ada hubungannya dengan sosok yang sedang mengetik di sebrang gue ini (---namanya gratisan duduknya nggak bisa milih samping-sampingan, hahaha). Percaya nggak kalau beberapa tahun lalu gue sempat percaya kalau hidup gue bakal berakhir unmarried dan dicap sebagai orang aneh? Jangankan suami, bisa diterima oleh orang-orang dekat (selain keluarga inti maksunya) pun sempat gue pikir mustahil. Penyebabnya bukan karena gue merasa nggak pantas. Tapi kata-kata salah seorang kebarat gue lah yang membuat gue merasa begitu. Sering kali gue mendengarnya memberi gue label-label sampai gue lupa mana diri gue yang sebenarnya dan mana yang "karangan dia". Iya. Gue dibully oleh yang seharusnya gue hormati, ---dia salah satu kerabat keluarga gue.
![]() |
Iya, dua bocah ini pasangan suami istri :) |
Sejak kecil gue 'berbeda'. Gue satu-satunya anak yang memakai brace (penyangga tulang belakang) di sekolah dan di keluarga karena scoliosis. Dan gue sangat baik-baik saja dengan itu, ---kecuali tentu di masa remaja labil yang sebagian besar mood gue dipengaruhi hormon, hahaha ---sisanya, I live my life. Apalagi gue dibesarkan oleh orangtua yang sangat suportif. Apapun yang gue lakukan, selama itu nggak menyakiti diri sendiri dan orang lain mereka selalu mendukung. Disaat sepupu-sepupu gue didorong orangtua mereka untuk mengambil jurusan tertentu, orangtua gue malah sebaliknya. Jurusan seni musik pilihan gue yang dianggap kurang menjanjikan oleh Om dan Tante dianggap keren oleh Ibu dan Bapak. Cara gue berpakaian, pilihan karir, keputusan menjadi vegetarian di usia remaja, sampai menulis buku pertama gue, semua dilakukan dengan restu mereka.
Percaya diri gue baik, ---atau istilah Bapak "sesuai porsi". Semakin dewasa ide-ide yang dulu ada diangan mulai gue wujudkan satu persatu. Seajaib apapun itu, Ibu dan Bapak selalu mendengarkan dan nggak meremehkan ide gue. Suatu hari gue mulai speak up tentang pengalaman sebagai seorang scolioser. Di TV, radio, majalah... you name it, ---gue bersuara dengan menggebu untuk raising awareness. Gue nggak mau ada orangtua yang kecolongan dengan perkembangan fisik anak-anak mereka. Nggak ada sedikit pun niat untuk dikasihani apalagi mencari sensasi. Gue merasa apa yang gue lakukan positif. ---Demi Tuhan. Sampai akhirnya ada yang berkata sebaliknya.
![]() |
Maret 2019, novel gue "Waktu Aku sama Mika" ada di toko buku. Gue nggak akan berhenti berkarya dan menyebarkan awareness tentang scoliosis :) |
Dia, ---atau lebih tepatnya 'beliau' karena usianya lebih tua dari Ibu dan Bapak, ---mulai merasa keberatan dengan apa yang gue lakukan. Kata-katanya begitu menusuk sampai menjadi luka permanen di hati gue. Menurutnya gue nggak seharusnya 'mengumbar' tentang kekurangan fisik. Karena jikalau beliau mempunyai putra dan tahu calon menantunya mengidap scoliosis, maka beliau nggak akan merestui hubungan mereka.
...WHAT THE F?!!...
Gue nggak percaya itu keluar dari mulut seorang yang sangat berpendidikan dan terpandang. Masih ingat dengan jelas waktu itu gue seketika menangis. Gue merasa kecil sekecil-kecilnya. Semua niat positif gue jadi terasa sia-sia karena ternyata malah dianggap aib. Beliau dan orangtua gue langsung bersitegang. Terutama Bapak, beliau sangat tersinggung sampai menantang untuk berkelahi. Meski sekarang mereka (katanya) sudah saling memaafkan, hubungan mereka nggak pernah sama seperti dulu lagi.
Entah karena gue cucu perempuan pertama atau karena dianggap berbeda, beliau begitu 'memperhatikan' gue. Awalnya gue menganggapnya sebagai hal positif, tapi lama kelamaan terasa terlalu mencampuri. Pernah suatu kali beliau mengkritik model rambut gue yang selalu berponi. Katanya kekanakan, lebih pantas dibelah dua dan disisir ke belakang. Menurut beliau cara berpakaian gue juga aneh. ---Aneh, bukan dalam artian unik yang positif, tapi aneh karena menurutnya harus diubah. Meski Ibu nggak pernah berkata apa-apa tapi gue yakin hatinya juga turut sakit. Baju-baju yang gue pakai semuanya buatan beliau. ---Dibuat penuh cinta dan rasa bangga, ---apa rasanya sesuatu yang dibuat dengan sungguh-sungguh ternyata malah dibilang 'aneh'?... Cara berpakaian gue jugalah yang menurutnya membuat gue susah mendapatkan pacar. Padahal, saat itu gue sedang menjalin hubungan dengan laki-laki, dan orangtua gue tahu itu.
Mungkin ada yang nggak percaya, gue yang sering dibilang ceria ini pernah mengalami fase dimana gue merasa rendah. Luka karena kata-kata kadang lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Gue jadi memikirkannya terus-terusan. Model rambut yang sudah hampir seumur hidup gue pakai mendadak jadi nggak lagi cocok ketika gue melihatnya di cermin. Baju yang tadinya gue pikir paling cantik sedunia jadi malu untuk gue pakai ke acara formal karena takut dianggap seperti anak-anak. Seketika gue juga jadi merasa bahwa orang hanya melihat gue sebagai sosok yang dikasihani. ---Gue nggak mungkin dicintai dengan tulus. Mungkin hubungan percintaan gue nggak akan berakhir kemana-mana. Mungkin 'beliau' benar. Gue nggak akan pernah menikah.
![]() |
Embrace my style. Dress ini Ibu yang desain dan gue bangga :) |
Luar biasa betapa kata-kata bisa begitu mempengaruhi gue. Tadinya gue pikir gue sudah benar-benar mengenal diri sendiri, ---sudah tahu apa passion dan tujuan hidup gue. Tapi lalu gue merasa menjadi bukan siapa-siapa, nggak berarti. Syukurlah fase itu akhirnya berlalu setelah gue berdamai dengan diri sendiri. Gue mulai berusaha untuk nggak memusatkan pikiran dengan label-label yang 'beliau' berikan, alih-alih mulai mendengarkan pujian-pujian sekecil apapun dari orang-orang sekitar gue, ---yang menghargai apa yang gue lakukan. Kenapa gue harus berpusat dengan satu orang yang negatif sementara yang positif sebenarnya lebih banyak? Lambat laun gue mulai kembali, kebahagiaan gue dan orangtua lebih penting daripada harus memuaskan 'standar' seseorang yang bahkan nggak mengenal gue dengan baik.
Sekarang setelah bertahun-tahun berlalu apakah gue masih marah dengan 'beliau'? Well... tentu terkadang perasaan itu datang, karena seperti yang gue bilang; kata-katanya meninggalkan luka di hati. Tapi yang terpenting gue bangkit, ---kembali menjadi Indi yang bahkan lebih pemberani dari sebelumnya. I trust my self more than anyone else. Gue nggak mau over thinking. Saat akan melakukan sesuatu dan gue yakin bahwa itu positif dan niatnya baik, maka tanpa ragu akan gue lakukan. Gue bangga menjadi gue yang berponi, yang scoliosis, yang sudah menjadi vegan, dan ---gue yang senang main ukulele meskipun fals, hahaha. Nggak akan gue izinkan apapun mengubahnya, sekalipun itu bully dan label-label dari seseorang yang 'disegani'.
![]() |
Punya lagu yang didengar orang dan masuk TV hanya bonus. Yang terpenting adalah perasaan gue yang happy saat bermain ukulele :) |
Terkadang kita lupa betapa powerfulnya kata-kata. Saat kita menyakiti seseorang secara fisik maka terlihat jelas lukanya. Tapi saat hati seseorang sakit lukanya nggak akan terlihat sampai orang itu menunjukan emosi. Dan "nggak terlihat" bukan berarti nggak real, kata-kata bisa mempengaruhi seseorang sampai sebegitu dalamnya, bahkan berpotensi merusak masa depan. Lebih baik tetap berikan kata-kata positif segatal apapun mulut kita untuk berkomentar. Ingin mengkritik atau memberi masukan? Ya, gunakan kata-kata yang santun. Bicara kan gratis, jangan merasa berat :)
Kalau ada di antara kalian yang mengalami hal seperti gue, ---dibully oleh orang dekat, ---atau siapapun, ---please ingat kalau kita semua berarti dan unik. Percayalah pada diri sendiri lebih dari orang lain. Karena nggak ada yang lebih mengenal kita selain diri sendiri. Do everything that make you happy, selama itu nggak merugikan orang lain. Dan kalau merasa depresi jangan dipendam sendiri, search for help, nggak perlu malu.
Oh, well... Shane sekarang sudah menyelesaikan pekerjaannya dan gue juga sudah menghabiskan potongan kentang goreng terakhir beberapa menit yang lalu. Sebentar lagi kami akan pulang, ---mungkin nonton film dulu sebelum tidur, hehe.
Hmm, by the way, kalian tahu nggak... setiap malam saat berbaring di samping Shane, gue selalu terseyum dan membatin,
"Lihat di mana gue sekarang. Gue berhasil 'mengalahkan' bully." :)
it's me,
Indi
ps: Gue sempat terkena demam tifoid selama 3 minggu, dan selama itu pula gue nggak ngapa-ngapain (huhu...). Sebagai come back gue dan suami mengcover lagu yang musik, video dan mixingnya 100% dilakukan oleh. Kalau mau dengar dan support karya kami boleh banget. Klik link ini untuk videonya.
------------------------------------------------------------------------------------------------