Yay, gue kembali! ---Well, semoga saja gue benar-benar "kembali" aktif menulis di sini, ya. Bukan balik sebentar terus menghilang lagi, ahahaha. Buat gue rajin menulis itu murni agar otak gue tetap aktif, juga agar ada dokumentasi perjalanan hidup gue karena nggak semua hal bisa diabadikan dengan foto. Kalau ada yang membaca gue senang, tapi kalau pun nggak itu bukan masalah. Nggak akan gue jadikan alasan untuk stop menulis. Lalu, kemana saja kah gue selama 4 bulan terakhir? Jawabannya cukup complicated. Pertama, gue malas. Iya, setelah pindah ke rumah baru semenjak menikah segala "setting" berubah. Ada space khusus untuk gue menulis di sini, kamar kecil lengkap dengan meja dan kursinya. Tapi gue belum terbiasa, karena meski suasana di sini nyaman tapi tetap saja gue perlu adaptasi. Dan untuk mengatasinya gue kurang bijak. Alih-alih mencoba, gue malah lebih rajin baca buku atau menonton film sekarang, hahaha. Dan kedua, laptop gue yang memang usianya sudah tua semakin sulit untuk digunakan. Frekuensi tiba-tiba mati karena over heatnya semakin sering, lemotnya semakin luar biasa. Akhirnya gue jadi lebih sering bermain dengan laptopnya Shane, ---tapi bukan untuk menulis. Bersyukur kemarin gue dapat laptop "baru". ---Bukan model baru maksudnya, ini model sudah lumayan jadul tapi ini waaaay better dari laptop lama gue. Seharusnya alasan gue untuk "malas" jadi berkurang, dong sekarang. Kita lihat saja sama-sama, ya! Hahaha :p
By the way, gue mau cerita soal sesuatu yang sebenarnya sudah lama gue rencanakan. Tapi karena alasan yang gue sebutkan di atas, dan somehow lupa terus, akhirnya malah nggak jadi-jadi. Gue rasa sekarang waktu yang tepat karena sahabat gue, Rifa baru saja menikah (sebelum pandemik yang terjadi sekarang ini, ---Oh, God please lindungi kami semua). Yup, gue mau membahas soal pernikahan. Kalau soal "acara" pernikahan gue dan Shane sih sudah pernah ya, yang sekarang mau gue bahas itu tentang my thought about getting married. Mungkin teman-teman yang sering membaca blog ini dari dulu tahu kalau gue nggak pernah membahas soal rencana menikah, meskipun saat itu gue punya long term boyfriend, ---delapan tahun. Well, itu karena gue nggak pernah punya rencana menikah muda dan nggak punya target usia kapan harus menikah. Gue adalah tipe orang yang let it flow. Kalau cocok ayo jalani, kalau nggak ya sudah tinggalkan. Nggak ada dalam kamus gue "sia-sia" atau "buang waktu" hanya karena suatu hubungan nggak berakhir di pernikahan. Buat gue pernikahan itu perjalanan, bukan sebuah goal yang tiap orang HARUS mengalaminya.
Balik lagi ke sahabat gue, Rifa. Kami sangat dekat, dengannya gue bisa bercerita apa saja. Begitu juga sebaliknya. Tapi bukan berarti kami selalu "setuju" dalam segala hal. Apa yang gue yakini, sukai, nggak selalu sama dengan Rifa. Dan untuk kami itu bukan masalah :) Berbeda dengan gue, Rifa selalu ingin menikah, menjadi seorang istri dan ibu. Pokoknya setiap kali berhubungan dengan laki-laki, tujuannya untuk menikah dan ingin langsung punya anak. Tentu gue sangat mendukung goalnya ini meski nggak sejalan dengan gue. Setiap kali ia dekat dengan seseorang, gue selalu dengan excited bertanya tentang kelanjutannya. Rifa sangat "pandai" berandai-andai, dengan lancar ia bercerita bagaimana kehidupan pernikahannya kelak dan itu membuat gue ikut bahagia :D Sampai-sampai gue bilang kalau ingin ia yang menikah duluan suatu hari, hahaha.
Tapi ternyata realitanya berbeda, gue lah yang menikah lebih dulu. ---Dengan sahabat sendiri yang sebelumnya nggak pernah gue gembar-gemborkan. Pacaran yang singkat, tanpa tunangan, tanpa resepsi. Buru-buru? Nop. Gue menikah karena gue TAHU sudah tiba waktu yang tepat. Tentu pernikahan gue mengejutkan banyak orang, termasuk Rifa (bahkan beberapa anggota keluarga gue). Memang serba salah, ya. Mendadak menikah bikin gempar, eh santai nggak nikah-nikah malah ditanya melulu, lol. Orangtua gue menikah di usia yang secara umum dianggap muda. ---Gue bilang dianggap karena muda itu relatif. Misalnya, menurut gue menikah usia 35 itu masih muda, tapi ada juga orang yang bilang telat, ---yang mana gue sangat nggak suka dengan istilah "telat nikah". There's no such thing as that, lah. Katanya kalau usia gue sekian harus sudah menikah, biar pas umurnya, biar ini, biar itu, biar masih cantik, biar punya anaknya belum terlalu tua, bla bla blaaaa... I called that BS! Beruntungnya gue dibesarkan oleh orangtua yang sangat suportif open minded. Sama seperti gue, mereka juga berpendapat kalau nggak ada patokan usia kapan manusia harus menikah. Kalau sudah siap dan mau menikah ya silakan, tapi kalau nggak siap (atau malah nggak mau) ya sudah. Dorongan-dorongan dari luar bisa berbahaya karena bisa membuat toxic marriage. Just imagine, kamu sebenarnya nggak mau menikah, tapi demi "menyenangkan" orang lain kamu menjalaninya dengan setengah hati. Your happiness matter, buddy!
Waktu Rifa menikah, gue bahagia sekali. Gue tahu ini sudah lama ia impikan, dan gue tahu kalau ia memang sudah SIAP. Keinginan ini datang dari dirinya sendiri, setelah menemukan laki-laki yang tepat ia nggak mau menunggu lama. Ini menjadikan moment pernikahannya nggak cuma istimewa buatnya, tapi juga untuk gue. Gue datang jauh-jauh bersama Shane dan juga Bapak dari Bandung ke resepsinya di Purwakarta. Her face... ia terlihat sumringah dan bersemangat. Gue dan Shane sampai hampir nggak mengenalinya karena ia terlihat cantik dengan gaun lebarnya.
Waktu gue mengetik ini I miss her so darn much, seperti yang gue bilang, kami bersahabat tapi gue dan Rifa "nggak sama". Setelah menikah ia berfokus dengan rumah tangganya, waktu untuk teman-temannya banyak berkurang, ---termasuk dengan gue. Sementara gue, setelah menikah nggak ada yang berubah. Gue masih hangout dengan teman-teman sebanyak sebelumnya, ---malah lebih seru karena Shane juga ikut. Tapi lagi-lagi, buat gue itu nggak masalah. Setiap orang boleh menentukan pilihannya dan saat nggak sesuai dengan gue bukan berarti harus memusuhi. Setiap rumah tangga bekerja dengan cara yang berbeda-beda ;)
Jadi kapan dong usia yang tepat untuk menikah menurut gue? NGGAK ADA. Pernikahan itu bukan perlombaan. Manusia boleh menikah kapanpun (asal cukup umur, siap mental dan finansial) atau malah nggak menikah sama sekali. Keinginan dan goal hidup setiap orang itu berbeda. Jangan lupa kalau kadang usia juga nggak berarti apa-apa. Bisa saja yang berusia 25 tahun lebih siap (dan lebih ingin) untuk menikah dibandingkan temannya yang berusia 40 tahun.
Dan well, sekarang bulan puasa sebentar lagi Lebaran tiba. Kalau nih... kalau-kalau saja corona sudah pergi dan kita punya kesempatan buat kumpul-kumpul, please stop bertanya "Kapan nikah?" (dan 'kapan-kapan' yang lain seperti tentang anak, pekerjaan, etc). Itu bukan urusanmu. Jangan sampai pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang basi itu malah jadi beban atau malah melahirkan pernikahan yang terpaksa. Gue nggak becanda, ada kenalan gue (masih kerabat sih...) yang akhirnya menikah karena bosan ditanya terus. Padahal ia mengaku kalau ia nggak cinta sama istrinya. Dan sekarang, guess what?! Ia berencana punya anak. Kenapa? Karena cape ditanya melulu! See that, ia (dan istri dan anak kelak) adalah korban dari pertanyaan basi tersebut. Bagus kalau pada akhirnya mereka bisa cope with the situation dan menjalani pernikahan yang tulus. Nah kalau nggak? Mau disalahkan? Ah, gue jamin paling orang-orang yang nanya melulu itu langsung ngeles dengan bilang, "Kan gue cuma nanya."
Kan somplak.
yang waktu itu menikah karena (akhirnya) ingin,
Indi
By the way, gue mau cerita soal sesuatu yang sebenarnya sudah lama gue rencanakan. Tapi karena alasan yang gue sebutkan di atas, dan somehow lupa terus, akhirnya malah nggak jadi-jadi. Gue rasa sekarang waktu yang tepat karena sahabat gue, Rifa baru saja menikah (sebelum pandemik yang terjadi sekarang ini, ---Oh, God please lindungi kami semua). Yup, gue mau membahas soal pernikahan. Kalau soal "acara" pernikahan gue dan Shane sih sudah pernah ya, yang sekarang mau gue bahas itu tentang my thought about getting married. Mungkin teman-teman yang sering membaca blog ini dari dulu tahu kalau gue nggak pernah membahas soal rencana menikah, meskipun saat itu gue punya long term boyfriend, ---delapan tahun. Well, itu karena gue nggak pernah punya rencana menikah muda dan nggak punya target usia kapan harus menikah. Gue adalah tipe orang yang let it flow. Kalau cocok ayo jalani, kalau nggak ya sudah tinggalkan. Nggak ada dalam kamus gue "sia-sia" atau "buang waktu" hanya karena suatu hubungan nggak berakhir di pernikahan. Buat gue pernikahan itu perjalanan, bukan sebuah goal yang tiap orang HARUS mengalaminya.
Balik lagi ke sahabat gue, Rifa. Kami sangat dekat, dengannya gue bisa bercerita apa saja. Begitu juga sebaliknya. Tapi bukan berarti kami selalu "setuju" dalam segala hal. Apa yang gue yakini, sukai, nggak selalu sama dengan Rifa. Dan untuk kami itu bukan masalah :) Berbeda dengan gue, Rifa selalu ingin menikah, menjadi seorang istri dan ibu. Pokoknya setiap kali berhubungan dengan laki-laki, tujuannya untuk menikah dan ingin langsung punya anak. Tentu gue sangat mendukung goalnya ini meski nggak sejalan dengan gue. Setiap kali ia dekat dengan seseorang, gue selalu dengan excited bertanya tentang kelanjutannya. Rifa sangat "pandai" berandai-andai, dengan lancar ia bercerita bagaimana kehidupan pernikahannya kelak dan itu membuat gue ikut bahagia :D Sampai-sampai gue bilang kalau ingin ia yang menikah duluan suatu hari, hahaha.
Tapi ternyata realitanya berbeda, gue lah yang menikah lebih dulu. ---Dengan sahabat sendiri yang sebelumnya nggak pernah gue gembar-gemborkan. Pacaran yang singkat, tanpa tunangan, tanpa resepsi. Buru-buru? Nop. Gue menikah karena gue TAHU sudah tiba waktu yang tepat. Tentu pernikahan gue mengejutkan banyak orang, termasuk Rifa (bahkan beberapa anggota keluarga gue). Memang serba salah, ya. Mendadak menikah bikin gempar, eh santai nggak nikah-nikah malah ditanya melulu, lol. Orangtua gue menikah di usia yang secara umum dianggap muda. ---Gue bilang dianggap karena muda itu relatif. Misalnya, menurut gue menikah usia 35 itu masih muda, tapi ada juga orang yang bilang telat, ---yang mana gue sangat nggak suka dengan istilah "telat nikah". There's no such thing as that, lah. Katanya kalau usia gue sekian harus sudah menikah, biar pas umurnya, biar ini, biar itu, biar masih cantik, biar punya anaknya belum terlalu tua, bla bla blaaaa... I called that BS! Beruntungnya gue dibesarkan oleh orangtua yang sangat suportif open minded. Sama seperti gue, mereka juga berpendapat kalau nggak ada patokan usia kapan manusia harus menikah. Kalau sudah siap dan mau menikah ya silakan, tapi kalau nggak siap (atau malah nggak mau) ya sudah. Dorongan-dorongan dari luar bisa berbahaya karena bisa membuat toxic marriage. Just imagine, kamu sebenarnya nggak mau menikah, tapi demi "menyenangkan" orang lain kamu menjalaninya dengan setengah hati. Your happiness matter, buddy!
Waktu Rifa menikah, gue bahagia sekali. Gue tahu ini sudah lama ia impikan, dan gue tahu kalau ia memang sudah SIAP. Keinginan ini datang dari dirinya sendiri, setelah menemukan laki-laki yang tepat ia nggak mau menunggu lama. Ini menjadikan moment pernikahannya nggak cuma istimewa buatnya, tapi juga untuk gue. Gue datang jauh-jauh bersama Shane dan juga Bapak dari Bandung ke resepsinya di Purwakarta. Her face... ia terlihat sumringah dan bersemangat. Gue dan Shane sampai hampir nggak mengenalinya karena ia terlihat cantik dengan gaun lebarnya.
Waktu gue mengetik ini I miss her so darn much, seperti yang gue bilang, kami bersahabat tapi gue dan Rifa "nggak sama". Setelah menikah ia berfokus dengan rumah tangganya, waktu untuk teman-temannya banyak berkurang, ---termasuk dengan gue. Sementara gue, setelah menikah nggak ada yang berubah. Gue masih hangout dengan teman-teman sebanyak sebelumnya, ---malah lebih seru karena Shane juga ikut. Tapi lagi-lagi, buat gue itu nggak masalah. Setiap orang boleh menentukan pilihannya dan saat nggak sesuai dengan gue bukan berarti harus memusuhi. Setiap rumah tangga bekerja dengan cara yang berbeda-beda ;)
Jadi kapan dong usia yang tepat untuk menikah menurut gue? NGGAK ADA. Pernikahan itu bukan perlombaan. Manusia boleh menikah kapanpun (asal cukup umur, siap mental dan finansial) atau malah nggak menikah sama sekali. Keinginan dan goal hidup setiap orang itu berbeda. Jangan lupa kalau kadang usia juga nggak berarti apa-apa. Bisa saja yang berusia 25 tahun lebih siap (dan lebih ingin) untuk menikah dibandingkan temannya yang berusia 40 tahun.
Dan well, sekarang bulan puasa sebentar lagi Lebaran tiba. Kalau nih... kalau-kalau saja corona sudah pergi dan kita punya kesempatan buat kumpul-kumpul, please stop bertanya "Kapan nikah?" (dan 'kapan-kapan' yang lain seperti tentang anak, pekerjaan, etc). Itu bukan urusanmu. Jangan sampai pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang basi itu malah jadi beban atau malah melahirkan pernikahan yang terpaksa. Gue nggak becanda, ada kenalan gue (masih kerabat sih...) yang akhirnya menikah karena bosan ditanya terus. Padahal ia mengaku kalau ia nggak cinta sama istrinya. Dan sekarang, guess what?! Ia berencana punya anak. Kenapa? Karena cape ditanya melulu! See that, ia (dan istri dan anak kelak) adalah korban dari pertanyaan basi tersebut. Bagus kalau pada akhirnya mereka bisa cope with the situation dan menjalani pernikahan yang tulus. Nah kalau nggak? Mau disalahkan? Ah, gue jamin paling orang-orang yang nanya melulu itu langsung ngeles dengan bilang, "Kan gue cuma nanya."
Kan somplak.
yang waktu itu menikah karena (akhirnya) ingin,
Indi
------------------------------------------------------------------------------------------------