Hari Rabu siang, seperti biasa gue dan miss. Rifa rekan kerja gue di pre school selonjoran di karpet sehabis makan siang. Ini menjadi ritual nggak tertulis kami, mengobrol berdua saja memisahkan diri dari teman-teman yang lain sambil memikirkan apa yang harus disiapkan untuk besok. Gue melirik ke arah jam dinding, masih 1 jam lagi sebelum waktunya pulang. Gue mengambil boneka beruang besar dan bersandar malas kepadanya. Terkantuk-kantuk. Tiba-tiba HP gue bunyi. Ada sebuah pesan masuk dari Vino Bastian. Vino adalah seorang teman baik yang gue kenal karena project film Mika. Iya, ia adalah yang memerankan almarhum Mika :)
"Indi, jangan lupa jam 18.30 nanti datang ya ke premiere Madre. Ajak Bapak dan Ibu juga".
Gue nggak langsung membalasnya, tapi meneruskan kembali obrolan random bersama Miss. Rifa. Kami sedang bercerita tentang teman masing-masing dan sudah sampai pada giliran miss. Rifa. Ia bercerita semalam salah seorang temannya mengiriminya pesan, berbincang ringan sampai akhirnya bertanya tentang pekerjaannya. Dengan bangga miss. Rifa menjawab bahwa ia menjadi guru di pre school. Tapi nggak disangka si teman malah berkomentar tentang "penghasilan" yang miss. Rifa dapatkan dari profesinya ini. Yang dimaksud dengan "penghasilan" tentu saja materi. Si teman mempertanyakan apakah itu cukup untuk menghidupi kebutuhan sehati-harinya dan bertanya apakah berminat berganti profesi dengan penghasilan yang lebih besar.
Miss. Rifa bercerita sambil tertawa. Ia lalu bertanya apakah gue merasa apa yang gue dapatkan nggak sepadan dengan yang gue kerjakan. Gue balas tertawa, merubah posisi gue dari selonjoran jadi berbaring."Memangnya berapa yang pantas kita minta untuk seharian dengan anak-anak dan bisa berbaring di sela-sela pekerjaan?"
Dan kami pun tertawa bersama.
Menjadi guru merupakan cita-cita gue. Pilihan. Jadi apa yang gue capai sekarang ini merupakan apa yang gue inginkan sejak lama. Bukan karena gue mencari pekerjaan "apa saja" asalkan nggak menggangur lama setelah gue lulus kuliah. Pre school atau TK adalah tempat pertama yang gue datangi ketika ijazah gue keluar. Gue ditolak di 2 pre school dan akhirnya diterima bekerja di sebuah pre school berbasis kurikulum British. Gue bahagia karena cita-cita gue menjadi kenyataan dan sejak hari pertama gue bekerja sampai hari ini gue sangat menikmatinya. Melelahkan, namun selalu penuh rasa syukur. Begitu juga miss. Rifa, ini memang pekerjaan yang ia inginkan dan materi sama sekali bukan alasan kenapa ia bertahan mengajar selama 3 tahun terakhir ini.
Bukan cuma miss. Rifa, gue juga sering mendapat pertanyaan yang sama, bahkan dari keluarga gue. Apakah penghasilan gue cukup untuk menghidupi kebutuhan gue?
Sebenarnya pertanyaan itu nggak etis menurut gue, bertanya tentang penghasilan seseorang buat gue bukan hal yang wise. Tapi gue berpikir positif saja, mungkin orang bertanya begitu karena mereka peduli, hehe. Kadang gue teringat dengan teman-teman kuliah yang mempunyai profesi sama dengan gue. Kebanyakan dari mereka berpenghasilan setengah dari yang gue hasilkan dengan jam kerja yang lebih panjang. Apakah mereka mendapatkan pertanyaan yang sama? Bagaimana mereka menanggapinya? Tapi sebelum gue bertanya sepertinya raut wajah mereka sudah menjelaskan segalanya. Teman-teman gue selalu tampak gembira dan nggak pernah mengeluh kekurangan. Hmm... mungkin itu karena mereka sudah menyadari sesuatu... :)
"Eh, tadi pesan dari siapa? Sudah dijemput?" miss.Rifa tiba-tiba teringat dengan HP gue yang berbunyi tadi. Gue menggeleng dan menjelaskan bahwa itu dari Vino yang mengundang gue ke Premiere film barunya. Gue dan miss. Rifa sama-sama melirik jam dinding. Kami terkikik, masih banyak waktu.
"Rezeki, Ndi, masih jam segini. Sampai rumah kamu masih bisa mandi, makan, dandan, pilih-pilih baju.Kalau orang lain belum tentu sudah sampai rumah, jam 5 juga baru bubaran".
Gue tersenyum sambil bangkit dari posisi berbaring, meraih cubby untuk menyiapkan pekerjaan besok pagi. "Iya, miss. Rifa, ini rezeki aku. Aku punya banyak."
Setelah percakapan dengan miss. Rifa, gue merenungkan apa yang sudah gue dapat selama ini dan bertanya-tanya apakah gue sudah berterima kasih pada Tuhan dengan cara yang pantas. Gue terkadang berkata, "nggak punya budged", "uang belum cukup" dan lain sebagainya, tapi gue lupa bahwa gue punya waktu. Iya, gue punya waktu disaat orang lain mungkin mengeluh kekurangan waktu dan meminta pada Tuhan sedikit saja waktu untuk bertemu orang tuanya atau menghabiskan waktu bersama pasangannya. Gue punya banyak, gue masih punya waktu berjam-jam perhari untuk mengobrol panjang lebar dengan Bapak, berselisih dengan Ibu (lol), berbuat iseng pada adik, bermain dengan Eris, anjing gue dan berlama-lama di minimarket dengan Ray untuk mencari camilan kesukaan kami. Gue punya banyak rezeki, bukan uang, tapi dalam bentuk lain. Dan miss. Rifa benar, di rabu sore gue masih sempat untuk mandi dan bersiap-siap dengan pantas untuk ke premiere film sementara tamu yang lain mungkin baru saja pulang bekerja dan belum sempat ganti baju. Thank God.
"Indi, jangan lupa jam 18.30 nanti datang ya ke premiere Madre. Ajak Bapak dan Ibu juga".
Gue nggak langsung membalasnya, tapi meneruskan kembali obrolan random bersama Miss. Rifa. Kami sedang bercerita tentang teman masing-masing dan sudah sampai pada giliran miss. Rifa. Ia bercerita semalam salah seorang temannya mengiriminya pesan, berbincang ringan sampai akhirnya bertanya tentang pekerjaannya. Dengan bangga miss. Rifa menjawab bahwa ia menjadi guru di pre school. Tapi nggak disangka si teman malah berkomentar tentang "penghasilan" yang miss. Rifa dapatkan dari profesinya ini. Yang dimaksud dengan "penghasilan" tentu saja materi. Si teman mempertanyakan apakah itu cukup untuk menghidupi kebutuhan sehati-harinya dan bertanya apakah berminat berganti profesi dengan penghasilan yang lebih besar.
Miss. Rifa bercerita sambil tertawa. Ia lalu bertanya apakah gue merasa apa yang gue dapatkan nggak sepadan dengan yang gue kerjakan. Gue balas tertawa, merubah posisi gue dari selonjoran jadi berbaring."Memangnya berapa yang pantas kita minta untuk seharian dengan anak-anak dan bisa berbaring di sela-sela pekerjaan?"
Dan kami pun tertawa bersama.
Menjadi guru merupakan cita-cita gue. Pilihan. Jadi apa yang gue capai sekarang ini merupakan apa yang gue inginkan sejak lama. Bukan karena gue mencari pekerjaan "apa saja" asalkan nggak menggangur lama setelah gue lulus kuliah. Pre school atau TK adalah tempat pertama yang gue datangi ketika ijazah gue keluar. Gue ditolak di 2 pre school dan akhirnya diterima bekerja di sebuah pre school berbasis kurikulum British. Gue bahagia karena cita-cita gue menjadi kenyataan dan sejak hari pertama gue bekerja sampai hari ini gue sangat menikmatinya. Melelahkan, namun selalu penuh rasa syukur. Begitu juga miss. Rifa, ini memang pekerjaan yang ia inginkan dan materi sama sekali bukan alasan kenapa ia bertahan mengajar selama 3 tahun terakhir ini.
Bukan cuma miss. Rifa, gue juga sering mendapat pertanyaan yang sama, bahkan dari keluarga gue. Apakah penghasilan gue cukup untuk menghidupi kebutuhan gue?
Sebenarnya pertanyaan itu nggak etis menurut gue, bertanya tentang penghasilan seseorang buat gue bukan hal yang wise. Tapi gue berpikir positif saja, mungkin orang bertanya begitu karena mereka peduli, hehe. Kadang gue teringat dengan teman-teman kuliah yang mempunyai profesi sama dengan gue. Kebanyakan dari mereka berpenghasilan setengah dari yang gue hasilkan dengan jam kerja yang lebih panjang. Apakah mereka mendapatkan pertanyaan yang sama? Bagaimana mereka menanggapinya? Tapi sebelum gue bertanya sepertinya raut wajah mereka sudah menjelaskan segalanya. Teman-teman gue selalu tampak gembira dan nggak pernah mengeluh kekurangan. Hmm... mungkin itu karena mereka sudah menyadari sesuatu... :)
"Eh, tadi pesan dari siapa? Sudah dijemput?" miss.Rifa tiba-tiba teringat dengan HP gue yang berbunyi tadi. Gue menggeleng dan menjelaskan bahwa itu dari Vino yang mengundang gue ke Premiere film barunya. Gue dan miss. Rifa sama-sama melirik jam dinding. Kami terkikik, masih banyak waktu.
"Rezeki, Ndi, masih jam segini. Sampai rumah kamu masih bisa mandi, makan, dandan, pilih-pilih baju.Kalau orang lain belum tentu sudah sampai rumah, jam 5 juga baru bubaran".
Gue tersenyum sambil bangkit dari posisi berbaring, meraih cubby untuk menyiapkan pekerjaan besok pagi. "Iya, miss. Rifa, ini rezeki aku. Aku punya banyak."
Setelah percakapan dengan miss. Rifa, gue merenungkan apa yang sudah gue dapat selama ini dan bertanya-tanya apakah gue sudah berterima kasih pada Tuhan dengan cara yang pantas. Gue terkadang berkata, "nggak punya budged", "uang belum cukup" dan lain sebagainya, tapi gue lupa bahwa gue punya waktu. Iya, gue punya waktu disaat orang lain mungkin mengeluh kekurangan waktu dan meminta pada Tuhan sedikit saja waktu untuk bertemu orang tuanya atau menghabiskan waktu bersama pasangannya. Gue punya banyak, gue masih punya waktu berjam-jam perhari untuk mengobrol panjang lebar dengan Bapak, berselisih dengan Ibu (lol), berbuat iseng pada adik, bermain dengan Eris, anjing gue dan berlama-lama di minimarket dengan Ray untuk mencari camilan kesukaan kami. Gue punya banyak rezeki, bukan uang, tapi dalam bentuk lain. Dan miss. Rifa benar, di rabu sore gue masih sempat untuk mandi dan bersiap-siap dengan pantas untuk ke premiere film sementara tamu yang lain mungkin baru saja pulang bekerja dan belum sempat ganti baju. Thank God.
Gue sering bilang bahwa manusia pasti diciptakan Tuhan dengan fungsinya masing masing dan setiap manusia juga pasti sudah ada rezekinya. Tapi gue lupa bahwa pengertian gue terlalu sempit. Dulu gue berpikir bahwa saat seseorang mendapat 10 dan lainnya mendapat 5 itu artinya ia memang pantas dan cukup dengan 5. Memang nggak sepenuhnya salah, tapi rezeki bukan berarti selalu angka. Tuhan telah menyediakan gantinya, rezeki dalam bentuk lain. Miss. Rifa selalu bilang bahwa ia orang yang paling tahan banting sedunia, dalam 1 bulan ia paling hanya 1 kali sakit, sementara gue pasti ada saja flu atau demam yang menghampiri dalam 1 minggu. Gue biasanya hanya tersenyum setiap miss. Rifa bilang, "rezeki" saat ia melihat daftar hadirnya yang full. Tapi sekarang berbeda, hati gue menyadari penuh bahwa itu memang rezeki. Bagian miss. Rifa yang Tuhan berikan istemewa untuknya :)
Keesokan harinya di kamis siang. Seperti biasa gue dan miss. Rifa menjalankan ritual nggak tertulis kami. Gue masih sedikit kekenyangan dan langsung selonjoran sambil bersandar di tembok. Miss. Rifa dengan wajah cerianya menceritakan bahwa ia senang karena ini hari terakhir bekerjanya di minggu ini. "Besok libur, jadi aku langsung pulang ke Purwakarta sore ini. Senang bisa makan masakan rumah lebih cepat 1 hari". Gue tertawa dan pura-pura nggak mau kalah dengan membalas perkataan miss. Rifa, "Aku dong mau jalan-jalan sama Ray, mau cari buku murah. Asyik, kan?" Kami tertawa dan melanjutkan pekerjaan kami sampai jam 2 siang dengan perasaan senang.
Sorenya gue dan Ray janjian di sebuah toko elektronik. Ray nggak bisa jemput gue karena ia harus bekerja dan hari ini sengaja izin pulang lebih cepat. Gue menunggu di foodcourt yang lumayan lenggang karena masih jam nya orang-orang di sekolah atau di kantor :) Sekitar 10 menit kemudian Ray datang, kami langsung mengobrol seru sambil berjalan menuju sebuah kios aksesoris HP. Ray pernah bilang bahwa suatu hari ia akan membelikan gue casing HP berbentuk Minnie Mouse, dan gue senang sekali karena akhirnya saatnya tiba! Saking senangnya ketika gue mendapatkannya gue langsung pakai casingnya dan nggak mau dimasukan ke dalam tas. Gue menentengnya terus bahkan sampai kami berjalan kaki dan tiba di toko buku di gedung sebrang :D
![]() |
Meet my new best friend: Minnie Mouse! :p |
Sore itu gue mendapatkan banyak rezeki, banyak berkah. Well, mungkin bukan "mendapat", tapi "melihat" karena setiap hari seharusnya memang penuh dengan berkah. Tapi kali itu gue lebih menyadarinya, mata gue menjadi lebih terbuka dan sensitif melihat apa yang gue dapat. Gue dan Ray berada di depan tumpukan buku-buku obral. Kami seperti raksasa yang berdiri di antara gunung-gunung kecil. Kami mulai menggali dan memilih. Buku-buku nggak diletakan sesuai tema, harga apalagi disusun di rak. Semua benar-benar digeletakan begitu saja dan butuh kejelian bahwa di sana mungkin saja ada harta karun. Entah sudah berapa lama sampai tahu-tahu kaki gue pegal dan gue mendapatkan dua buah buku seharga rp.20.000 dan rp. 5.000 saja! Buku yang gue dapat pun bukan sembarangan, tapi best seller pada zamannya. Gue gembira sekali dan dengan bangga menunjukkan buku-buku itu berkali-kali pada Ray, berulang kali bercerita bahwa salah satu dari buku itu sudah difilmkan dan gue menyukainya. Ray juga mendapatkan buku yang ia inginkan, 1 buah buku resep memasak yang ia cari selama... gue lupa berapa lama, yang pasti cukup lama sampai gue minta kami segera pindah tempat, hehehe.
Berbelanja buku obral seperti ini bukan yang pertama kali kami lakukan. Kami sudah lakukan ini beberapa kali tapi baru kali ini gue sadar bahwa Tuhan mengganti sesuatu yang nggak gue punya dengan hal lain. Beberapa orang mungkin hanya punya waktu beberapa jam untuk mencari buku, tapi gue punya waktu sepanjang sore untuk berpetualang di tumpukan buku dan membawa pulang harta karun.
Berbelanja buku obral seperti ini bukan yang pertama kali kami lakukan. Kami sudah lakukan ini beberapa kali tapi baru kali ini gue sadar bahwa Tuhan mengganti sesuatu yang nggak gue punya dengan hal lain. Beberapa orang mungkin hanya punya waktu beberapa jam untuk mencari buku, tapi gue punya waktu sepanjang sore untuk berpetualang di tumpukan buku dan membawa pulang harta karun.
![]() |
Harta karun gue! Gue lebih dulu menonton film "Saving Shiloh" dan baru sekarang punya bukunya. 5 ribu saja! ;) |
Kami memutuskan untuk makan malam di coffee shop dekat toko buku. Ketika kami berjalan tanpa sengaja mata gue menangkap sesuatu yang rasanya familiar. Kami melewatinya, lalu gue tiba-tiba sangat ingin untuk menoleh. Ya, ampun! Ternyata ada poster "Waktu Aku sama Mika" di lorong toko buku! Sejak kapan ada di sana? Ya, ampun! Gue kaget sekali dan terharu. Posternya besar dan ada lampunya, sejajar dengan buku-buku best seller lain. Gue langsung berteriak-teriak nggak karuan, cepat-cepat menyerahkan HP gue pada Ray supaya ia mengambil foto gue. Ray juga senang dan terus-terasan berkata, "Congrats, Hon." Satpam yang berada di sana memperhatikan kami terus, gue pikir ia akan melarang kami menambil foto tapi rupanya malah tersenyum geli, hehehe. Orang-orang yang lalu-lalang pun memandang kami (well, terutama gue) dengan heran, tapi gue nggak peduli karena gue begitu senang. Selesai berfoto gue memandangi poster itu selama beberapa detik, membaca semua tulisan yang ada di sana dan melihat setiap detailnya. Ada gambar poster film Mika dan cover novel "Waktu Aku sama Mika" di sana. Juga ada gambar Vino dan Bastian dan Velove Vexia yang sedang makan pizza. Gue tersenyum bangga. Novel gue masuk jajaran best seller dan difilmkan. Ini merupakan rezeki dari Tuhan. Ia memberikan banyak waktu luang setelah gue bekerja, jadi gue bisa menulis dan berkarya lebih banyak. Gue benar-benar bersyukur, Tuhan maha baik dengan memberikan gue rezeki dari banyak pintu. Mungin sedikit aneh bahwa waktu itu gue bersyukur di depan poster, hehehe, tapi ini jadi pelajaran untuk gue bahwa setiap hal yang gue lihat, setiap hal yang gue rasakan selalu terselip rezeki dari Tuhan di sana. Dan kali ini gue melihatnya melalui sebuah poster.
![]() |
"Waktu Aku sama Mika" dan "MIKA" the movie :) |
![]() |
Hahaha, gak bisa berhenti nyengir! :p |
Sebenarnya pasti hanya gue dan Ray yang tahu bahwa gue adalah penulis dari novel yang posternya dipajang di lorong. Tapi entah kenapa gue berjalan dengan bangga menuju coffee shop sambil terus tersenyum dan terkadang terkikik (lol, gue memang silly). Ketika sampai kami memesan pizza dan Ray mengucapkan selamat pada gue sekali lagi. Pizza adalah makanan perayaan bagi kami. Tadinya bagi gue karena setiap kali gue berulang tahun atau ada moment istimewa pasti memesan pizza (itulah kenapa pizza menjadi makanan icon film Mika dan novel Waktu Aku sama Mika, hehehe). Tapi setelah ada Ray pizza menjadi makanan istimewa untuk kami berdua :) Gue mendapatkan hari jumat yang menyenangkan. Gue mempunyai waktu berkualitas dengan Ray, mendapatkan hadiah kekejutan (aww, Minnie Mouse, lol), berburu buku-buku bagus, melihat poster dengan nama gue di sana dan makan pizza dengan keju yang banyak. Tapi yang paling istimewa adalah gue pulang ke rumah dengan membawa pelajaran berharga, bahwa rezeki bukan selalu tentang angka dan nggak ada satu makhluk Tuhan pun yang kekurangan. Jika gue nggak punya suatu hal, pasti Ia menggantinya dengan hal lain. Istimewa, khusus untuk gue. Gue juga percaya apapun pekerjaan yang gue punya, selama gue berusaha dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, Tuhan akan mencukupkan apa yang gue butuhkan. Gue berjanji akan lebih membuka mata dan hati untuk melihat hal-hal yang ada di sekitar gue. Tuhan memberikan gue banyak rezeki:waktu, kesehatan (gue cukup fit untuk pengidap scoliosis 58 derajat), teman-teman yang baik, keluarga yang bahagia, sense of humor dan banyak lainnya. Dan... eh, tunggu! Gue menulis post ini di minggu malam. Ini adalah rezeki! Karena hari bekerja gue adalah selasa sampai jumat jadi gue punya 1 hari libur ekstra dibandingkan orang lain, hihihi... Tuhan, Kau memang maha baik! Lewat miss. Rifa gue diingatkan apa itu rezeki. Terima kasih untuknya, dan gue merasa sangat blessed diberikan kesempatan untuk mengenalnya.
Waktu sudah semakin larut, sekarang sudah waktunya gue naik ke atas tempat tidur dan menyusup ke balik selimut. Gue masih punya waktu 1 hari penuh untuk beristirahat sebelum hari selasa mulai kembali bekerja. Ini rezeki. Dan Tuhan beri gue banyak :)
good night,
Indi